ASEAN dan Perdamaian Kawasan

ASEAN dan Perdamaian Kawasan – ASEAN, organisasi regional Asia Tenggara yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967, kini menjadi sorotan masyarakat internasional. ASEAN akan bertransformasi menjadi sebuah komunitas politik yang memiliki beberapa kemiripan dengan model komunitas politik European Union.

Komunitas politik tersebut kiranya akan membawa dampak baik untuk kawasan Asia Tenggara yang juga menginginkan kemajuan serta integrasi kawasan. Sepuluh negara anggota ASEAN memimpikan kemajuan bersama, tidak ada yang berat sebelah atau hanya satu negara yang maju sedangkan yang lainnya tertinggal.

Agustus nanti ASEAN akan menginjak usia yang ke-45. Hal tersebut adalah bukti bahwa ASEAN telah lama berkarir di bidang politik internasional dimana peran ASEAN cukup berpengaruh dalam proses perdamaian intra-kawasan dan penyelesaian konflik antar negara anggota serta perannya yang cukup signifikan ketika cold war. Perdamaian yang ASEAN capai kini adalah salah satu trigger untuk mendirikan political community.

Asia Tenggara adalah salah satu dari sekian banyak kawasan yang memiliki banyak konflik dan permasalahan, kebanyakan konflik tersebut berupa konflik laten antar negara ataupun konflik internal di dalam negara sendiri. Tanpa ASEAN sangat sulit untuk memadamkan api-api konflik di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini. Oleh karenanya dalam kesempatan ini, paper ini akan membahas keberhasilan ASEAN dalam menciptakan resolusi konflik untuk permasalahan-permasalahan internal dan kesulitan yang ASEAN hadapi dalam konflik-konflik tersebut terutama menyangkut prinsip ASEAN: Non-Intervention, apakah prinsip tersebut menghambat atau membawa manfaat untuk ASEAN?

ASEAN dan Perdamaian Kawasan: Landasan Teori Neo-Funsionalisme

Neo-fungsionalisme adalah grand theory “teori besar” pertama yang menjelaskan fenomena integrasi di kawasan Eropa. Pemikir terkemuka sekaligus pelopor dari faham ini adalah Ernst B. Haas. Faham ini berkembang pada pertengahan tahun 1950an guna melengkapi kekurangan pada teori fungsionalisme klasik yang digagas oleh David Mitrany. Tujuan dari teori neo-fungsionalisme untuk menjelaskan dinamika terintegrasinya kawasan Eropa dan memilah serta menstruktur informasi yang relevan untuk mengembangkan pemahaman juga untuk memprediksi integrasi yang akan terjadi pada masa depan.[1]  Neo-fungsionalisme menekankan pada peran aktor non-negara sebagai yang utama dalam konstelasi politik, akan tetapi negara anggota pada kelompok regional tetap memiliki peran penting dalam proses tersebut. Teori ini akan meninjau bagaimana proses integrasi kawasan Asia Tenggara melalui political community yang akan mereka bentuk nanti 2015 dan pengaruhnya terhadap perdamaian kawasan.

Teori neo-fungsionalisme menjelaskan bahwa integrasi pada suatu regional adalah sebuah proses yang sangat konfliktual dan sporadis,berlangsung sangat alot serta menghubungkan banyak pihak baik aktor negara maupun non-negara. Menurut Haas, ada 3 hal utama yang menjadi ide utama dalam teori neo-fungsionalisme yaitu political community, political integration, dan spill-over. Spill-over sendiri akan menjadi motor untuk memperkuat integrasi terutama bagi kawasan.[1]

Dalam proses pengintegrasian sebuah kawasan sangatlah penting membentuk komunitas politik karena hal tersebut akan berpengaruh langsung pada identitas regional di masyarakat internasional, seperti halnya European Union (EU), mereka adalah satu kesatuan meskipun terdiri dari banyak aktor negara, individu manapun yang berasal dari salah satu negara anggota EU akan dianggap sebagai bagian dari masyarakat Eropa oleh international society yang cakupannya jauh lebih besar dari Eropa. Demikian pula dengan integrasi politik yang akan terjadi ketika suatu kawasan telah menjadi komunitas politik, integrasi politik pada suatu kawasan akan memicu terciptanya lembaga supranasional yang menyatukan kedaulatan dari masing-masing negara anggota menjadi satu kedaulatan dalam sebuah lembaga dalam pencapaian kepentingan bersama. Adapun fase spill-over akan terjadi pada 3 dimensi yaitu functional spill-over, political spill-over, dan geographical spill-over. Semuanya kerap kali terjadi pada kawasan yang telah terintegrasi dan Eropa adalah masterpiece dari teori ini.

Karena proses dalam setiap integrasi kawasan adalah proses yang konfliktual dan sporadis[2], tentunya kita juga harus memahami konsep perdamaian dan konflik serta realita yang terjadi terutama pada kawasan yang menjadi sorotan dalam paper ini.

Perdamaian diidentifikasi menjadi dua yaitu positive peace dan negative peace. Negative peace adalah kondisi dimana situasi perdamaian mengandung unsur konflik atau suasana dimana rekonsialisasi pasca-konflik sehingga konten-konten konflik sebelumnya masih sangat terasa dan sangat potensial menghasilkan konflik baru jika tidak ditangani dengan tuntas. Sedangkan positive peace adalah kondisi perdamaian yang tidak mengandung unsur konflik sama sekali sehingga kehidupan bernegara berjalan “lempeng” tanpa ada beban dan hambatan yang mengganjal. Peace adalah pencapaian yang dapat ditempuh dengan 3 pendekatan yaitu strategic studies, security dan yang terakhir adalah conflict resolution.

Konflik identik dengan pertentangan dan perselisihan serta kekerasan. Konflik sendiri berasal dari kata Latin konfigere yang berarti menyerang bersama-sama atau saling serang. Situasi dan kondisi akan disinyalir berada dalam lingkup konflik ketika aktor yang terlibat lebih dari satu, adanya tension “ketegangan”, hilangnya kepercayaan atau mistrust, adanya keterlibatan emosi, putusnya komunikasi dan tujuan-tujuan yang bertentangan. Selain itu konflik memiliki manfaat tersendiri seperti konflik dapat membantu pembentukan dan perkembangan sebuah komunitas, memperjelas dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada, juga membantu individu (aktor) memahami dan mengambil langkah untuk persoalan-persoalan yang dihadapi dalam

interaksi sosial. Menurut Coser, konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena konflik sendiri adalah jelmaan atau hasil dari interaksi antar manusia

Analisa Masalah

Kawasan Asia Tenggara adalah salah satu kawasan yang cukup strategis jika dilihat dari security view karena di apit oleh dua samudera yang dapat melindungi kawasan tersebut dari blitzkrieg “serangan langsung”. Selain itu, kawasan ini juga kaya akan sumber daya lautnya baik itu sumber daya hayati maupun sumber daya non-hayati seperti minyak. Jika ditinjau dari kebutuhan dasar pangan, Asia Tenggara telah mencapai tahap dimana mereka ‘cukup’ dan mampu untuk lebih.

Kesepuluh negara anggota ASEAN memiliki kemiripan karakter namun tetap terdapat kekhususan atau specialization dalam bidang tertentu. Mayoritas penduduk ASEAN adalah rumpun Asia yang juga mayoritas menjadikan padi sebagai bahan pangan utama. ASEAN sendiri memiliki 2 negara observer, yaitu Timor Leste dan Papua New Guinea. Untuk beberapa daerah tertentu, terutama daerah Indonesia Timur, mayoritas penduduknya adalah rumpun Melanesia termasuk Timor Leste dan Papua New Guinea. Beberapa negara di ASEAN juga cukup unggul dalam bidang industri barang maupun jasa, dapat dilihat dari tingginya investasi di sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Singapura unggul dalam industri jasa, sedangkan Thailand, Indonesia dan Malaysia unggul dalam industri barang.

Setiap kawasan tidak lepas dari berbagai permasalahan dan konflik, tidak juga dengan Asia Tenggara. Dari sudut ekonomi, tingginya kesenjangan GDP antar negara ASEAN membuat tingginya angka kemiskinan di kawasan ini. Hal ini tentu mempengaruhi kehidupan sosial dan budayanya. Konflik perbatasan juga marak terjadi, seperti konflik Indonesia-Malaysia tentang pulau Sipadan-Ligitan dan juga konflik Thailand-Kamboja tentang Kuil Preah. Selain itu perbatasan Laut Cina Selatan juga bermasalah, karena klaim sejumlah negara tentang pematokan daerah territorial dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) merambah kebeberapa negara anggota ASEAN yang langsung berbatasan dengan laut tersebut.

Terlepas dari konflik internasional dan internal yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, merupakan tugas ASEAN untuk menjaga agar kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang kondusif untuk perdamaian dan bukan menjadi kawasan tempat perebutan pengaruh ataupun tempat bersengketa mengenai apapun. Melalui pembentukan komunitas politik, sekiranya dapat menekan potensi konflik-konflik lama terangkat kembali dan juga mencegah munculnya konflik-konflik baru di masa depan. ASEAN ketika dipimpin oleh Indonesia mendapat pujian dari Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Banga Ban Ki-moon bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang konsisten dalam menjalankan perdamaian dunia.[2]  Hal tersebut membuktikan bahwa keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara relatif stabil dan kondusif, meskipun potensi terjadinya konflik masih tetap ada. Prinsip non-kekerasan dan non-intervensi ASEAN dinilai cukup berhasil, tapi tidak selamanya hal tersebut relevan dalam menjaga perdamaian, banyak desakan untuk dihapuskannya prinsip tersebut, agar ASEAN lebih realistis dalam menyelesaikan konflik dengan tindakan langsung yang tepat sasaran. Will it be true? Akan dibahas di bab selanjutnya.

ASEAN dan Perdamaian Kawasan: Pembahasan

Dalam kurun waktu 3 tahun ke depan, ASEAN akan menapaki fase baru dimana organisasi kawasan tersebut berubah menjadi sebuah komunitas politik. Akantetapi mampukah ASEAN menjadi the real political community yang bukan hanya organisasi elit negara, tapi mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat negara anggota seperti halnya European Union. Sedangkan masih banyak yang menjadi faktor penghambat seperti internal conflict dan international conflict meskipun beberapa konflik tersebut hanya konflik laten yang belum termanifes. Transformasi menuju komunitas politik tersebut tentu akan mempengaruhi proses resolusi konflik yang terjadi dan tentu saja untuk pencegahan terjadinya konflik di masa depan.

“ASEAN way” identik dengan salah satu prinsip ASEAN yaitu non-intervention urusan dalam negeri negara anggota yang tertuang dalam 14 Prinsip ASEAN.[3]  Banyak kaum cendikiawan yang berpendapat bahwa prinsip tersebut sangat menghambat dalam proses penyelesaian konflik, bahkan beberapa akademisi menilai akan lebih baik jika ASEAN menghapuskan prinsip tersebut dan menggantikannya dengan hak untuk mencampuri urusan dalam negeri agar dapat menyelesaikan konflik dengan tindakan langsung dan realistis. Prinsip tidak menggunakan collective defense dan janji untuk berkomitmen dalam pencarian legitimasi melalui konsultasi atau musyawarah berasal dari Maphilindo yang kemudian diadopsi oleh ASEAN sehingga menjadi “ASEAN way”.[4]  Model musyawarah dan mufakat dalam pencarian legitimasi di ASEAN sangat mirip dengan konsep syurakrasi[5] sehingga dalam proses resolusi konflik, ASEAN mendahulukan pembicaraan di meja terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan apapun.

Untuk mewujudkan komunitas politik ASEAN 2015 nanti, ASEAN menempuh 3 langkah yang pertama adalah “Peace”. Peace yang dimaksud di sini adalah kondisi dimana kawasan Asia Tenggara kondusif untuk perdamaian, potensi konflik selalu ada untuk semua kawasan akan tetepi dengan terciptanya kawasan yang kondusif akan memudahkan proses perdamaian dan resolusi konflik yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan salah satu instrumen politik ASEAN yang telah ada yaitu Zone of Peace, Freedom and Neutrality atau disingkat ZOPFAN.[6]  Komitmen ASEAN sangat kuat dalam menjaga perdamaian. Langkah yang kedua adalah prosperity “kemakmuran” dengan komitmen mengentaskan kemiskinan di kawasan Asia Tenggara melalui pemerataaan pembangunan dan penguatan pasar agar selisih atau gap GDP yang tinggi dapat teratasi. Dan yang ketiga adalah people, ASEAN menjadikan masyarakat sebagai landasan utama dalam terciptanya komunitas politik yang kuat dengan collective identity sebagai warga ASEAN sehingga tercetuslah bahwa ASEAN adalah organisasi kawasan dengan people-oriented sebagai acuan dasar dan yang paling utama.

Langkah-langkah tersebut kemudian diwujudkan dengan 3 cetak biru komunitas ASEAN antara lain ASEAN Political-Security Community (APSC Blueprint), ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC Blueprint).[7]  Yang akan menjadi sorotan adalah bagaimana neo-fungsionalis melihat komunitas politik-keamanan ASEAN dalam menyelesaikan masalah intra maupun ekstra kawasan, akankah berdampak signifikan terhadap perdamaian kawasan. Dari sini terdapat dua kemungkinan yaitu terciptanya positive peace atau negative peace dengan melihat bagaimana sebuah komunitas menangani konflik yang terjadi di dalam maupun di luarnya. ASEAN berkomitmen pada perdamaian, hal tersebut sangat absolut dan tidak dapat diganggu gugat, meskipun konsekuensinya mengorbankan banyak hal dalam mencapai perdamaian tersebut dan konflik tentu saja selalu ada di antaranya.

Pada tahun 2012 tepatnya 8 Agustus nanti, ASEAN menginjak umurnya yang ke-45 dan selama itu pula tidak pernah ada perang terbuka yang terjadi di antara negara anggotanya. Meskipun tidak ada perang terbuka, konflik terus terjadi dari dekade ke dekade. Proses perdamaian di ASEAN sangat kental dengan prinsipnya yang tidak akan mengintervensi dan menghormati kedaulatan dari negara anggotanya. Dapat kita ambil contoh ketika konflik di Kamboja terjadi.

Krisis di Kamboja terjadi pada tahun 1975 dan semakin meluas pada tahun 1978, ketika Democratic Kampuchea (DK) melakukan serangan balasan yang dilancarkan di baratdaya perbatasan Vietnam dan atas permintaan Kampuchea United Front for National Salvation, tentara Vietnam melancarkan serangan penuh terhadap kelompok Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot. Kelompok Khmer Merah diduga telah membantai sekitar 1,6 juta orang Kamboja atas dasar pemurnian dan totalisme dalam bertindak. Dalam kurun waktu 3 minggu, tentara Vietnam berhasil menguasai Phnom Penh dan membantu mendirikan People’s Republic of Kampuchea (PRK). Terdapat beberapa keganjilan terkait pembalasan dendam yang melibatkan aktor di luar kawasan ketika krisis Kamboja terjadi. Amerika dan China berada di belakang Pol Pot guna membalaskan dendam masa lalu mereka terhadap Vietnam. DK dan PRK menjadi bidak oleh aktor-aktor yang bermain di krisis Kamboja. DK atau Khmer Merah didukung oleh China dan Amerika sedangkan PRK yang dipimpin Hun Sen didukung oleh Vietnam. Konfrontasi antara kedua bidak tersebut berlangsung cukup a lot karena masing-masing memiliki back-up. Di sini ASEAN mengambil peran untuk menjadi penengah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi karena dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan.

Langkah pertama yang diambil ASEAN untuk menyelesaikan konflik ini adalah dengan menekan tentara Vietnam agar keluar dari wilayah Kamboja dengan cara memobilisasi masyarakat internasional dan UN Security Council untuk mengisolasi kedua negara baik diplomasi maupun ekonominya.[8] Cara yang ASEAN tempuh dalam menyelesaikan konflik Kamboja sangatlah diplomatis, tidak ada penggunaan cara militer dan berhasil dengan lobby dan diplomasi yang baik. Hal tersebut tidak lepas dari kerjasama antar anggota lain yang tidak terlibat dalam konflik dan lebih mengutamakan perdamaian kawasan tanpa ada kepentingan yang menunggangi konflik tersebut. ASEAN mendukung Kamboja secara keseluruhan, tidak mendukung kelompok yang terlibat baik itu DK ataupun PRK. Perdamaian yang terbaik untuk rakyat Kamboja, dan penghentian konfrontasi bersenjata menjadi prioritas. Dalam sidang umum PBB yang membahas masalah Kamboja, ASEAN sukses menghalangi proposal India untuk mengosongkan kursi Kamboja dan tanpa mengikutsertakan Vietnam, menteri-menteri luar negeri ASEAN memerintahkan untuk menarik semua pasukan asing tanpa terkecuali yang berada di wilayah Kamboja serta membuka kembali pemerintahan Phnom Penh agar rakyat Kamboja mendapatkan hak mereka dalam pemilihan umum.[9] Dalam kasus krisis Kamboja, ASEAN telah membuktikan bahwa mereka mampu untuk stand up for their own belief: ASEAN way dan hal ini tidak berhenti pada satu kasus saja, banyak konflik ASEAN lain yang terselesaikan dengan baik dan tetap berpegang teguh dengan apa yang mereka percayai.

Kesimpulan

Any comprehensive theory of integration should potentially be a theory of disintegration.[10]  Hal ini menunjukkan bahwa sebuah teori adalah pedang bermata dua, di satu sisi dia bisa menolong tapi di sisi lain juga bisa membinasakan. Gejala yang terjadi di Asia Tenggara menunjukkan beberapa kemiripan seperti yang terjadi di Eropa. Integrasi kawasan berawal dari perang yang berkepanjangan hingga akhirnya mereka mencapai titik dimana perang harus dihentikan dan digantikan oleh kerjasama yang kuat demi kemajuan bersama. Meskipun tidak ada perang, Asia Tenggara adalah kawasan yang cukup sering disinggahi oleh konflik. Selain itu tingkat heterogenitas dalam masyarakat ASEAN pun tinggi, walaupun sebagian besar berasal dari rumpun yang sama. Ide untuk menjadikan ASEAN sebuah komunitas bertujuan untuk mempermudah penyelesaian konflik dan menggantikannya dengan hal-hal yang lebih penting di masa sekarang ini seperti ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.

Komunitas ASEAN akan menjadi wadah yang baik untuk memulai perdamaian. Dengan berlandaskan ASEAN Charter dan prinsipnya yang terkenal “ASEAN way”, ke depannya diharapkan kemajuan dapat diraih bersama melalui komunitas ini.

Neo-fungsionalis melihat bahwa perkembangan atau transformasi ASEAN menuju komunitas berbeda dari model EU. Pandangan konservatif tentang ASEAN Community pesimis karena ASEAN kerap kali lambat dalam bertindak dan tingkat kesejahteraan masyarakat ASEAN masih terbilang rendah. Adanya gap GDP yang cukup lebar di antara negara anggota adalah tolak ukur untuk meninjau tingkat kesejahteraan kawasan Asia Tenggara. ASEAN memiliki kapabilitas yang mencukupi, akan tetapi mampukah mereka melakukan spill-over, sedangkan bidang yang difokuskan saat ini saja belum tentu bisa berjalan dengan baik. Tanpa spill-over, komunitas politik tidak akan bermanfaat banyak dan integrasi politik pun tidak begitu berarti.

Organisasi kawasan ini benar-benar harus membenahi cara kerja mereka agar menjadi komunitas yang sesungguhnya. Tujuan menstabilkan politik dan keamanan, penguatan ekonomi bersama serta pelestarian budaya dan kehidupan sosial yang baik sesama negara anggota harus direalisasikan dengan tindakan yang realistis. Mungkin bisa dimulai dengan lebih sering mengadakan KTT yang tidak hanya satu kali satu tahun. Juga dengan lebih memperhatikan sektor prosperity, karena dengan tingkat kesejahteraan yang baik perdamaian dan kepedulian masyarakat akan mudah didapat.

Jika dibandingkan dengan kawasan Eropa, EU menjadi komunitas didasari oleh kebutuhan akan energi yang sangat vital pada masa itu, trigger Eropa tergolong vital interest[11] karena bersifat nyata dan harus dipenuhi dalam tempo singkat. Sedangkan trigger Asia Tenggara dapat digolongkan sebagai critical interest[12] dimana kepentingan tersebut dapat menjadi prioritas hanya jika keadaannya mendesak. Selain itu intervensi aktor di luar kawasan juga dapat menghambat transformasi ini karena kepentingan-kepentingan mereka yang “bermain” di beberapa negara anggota masih terasa. Penilaian konservatif meragukan ASEAN akan menjadi the real community karena belum adanya trigger yang cukup kuat bagi ASEAN untuk menjadi komunitas. Meskipun 2015 nanti komunitas ASEAN diresmikan, akan tetapi soul dari komunitas tersebut hanya berupa wadah untuk masa depan karena pembuatan komunitas ini berdasarkan jawaban atas tantangan global yang berubah-ubah dan tak pasti.

Terkait dengan perdamaian kawasan, sudah tentu political-security community ASEAN akan memberikan wadah yang baik untuk kelanjutan resolusi bagi konflik-konflik masa kini dan masa yang akan datang. Hal tersebut juga tergantung bagaimana mekanisme yang terjadi di ASEAN, apakah menjadi lebih baik atau sama dengan ASEAN yang lama, oleh karena itulah menjadi the real community adalah prioritas utama. Perlu ditinjau kembali agar ASEAN tidak hanya menjadi wadah, tapi adalah wadah dengan isi yang bermanfaat bagi seluruh civitasnya. Sebagai contoh adalah geographical spill-over yang terjadi di kawasan yang terintegrasi dapat mengentaskan masalah-masalah state boundaries yang khususnya sering dipersoalkan di kawasan Asia Tenggara ini.

Sebagai penutup, penting untuk ASEAN menanamkan dan menancapkan core value[13] komunitas ASEAN kepada seluruh elemen masyarakatnya sehingga ASEAN menjadi The Real Community for Integrated Southeast Asia on Creating the Regional Peace.

DAFTAR PUSTAKA

  • Coser, Lewis A. 1956, The Functions of Social Conflict, The Free Press, New York.
  • Haas, Ernst B. 1975, The Obsolescence of Regional Integration Theory, University of California Press, Berkeley.
  • Suntana, Ija 2011, Pemikiran Ketatanegaraan Islam, Pustaka Setia, Bandung.
  • Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN 2011, ASEAN Selayang Pandang, 19th edn, D.J.K.S.A, Jakarta.
  • Huxley, Tim 1990, ‘ASEAN Security Cooperation- Past, Present and Future’, in Alison Broinowski (ed.), ASEAN into 1990s, The Macmillan Press Ltd., Houndsmills and London, pp. 89.
  • Chee, Chan Heng 1980, ‘The Interest and Role of ASEAN in the Indochina Conflict’, International Conference on Indochina and Problems of Security and Stability in Southeast Asia, Cholalongkorn University, Bangkok, 19-21 June.
  • Marentek, Andrei T. 2012, ‘Strengthening ASEAN Connectivity’, slide presented to International Seminar on Building the ASEAN Community 2015, Parahyangan University, Bandung, 30 April.
  • Goh, Gilian 2003, ‘The ‘ASEAN Way’: Non-Intervention and ASEAN’s Role in Conflict Management’, Greater East Asia, vol. 3, no. 1, pp. 113-118,

viewed 21 April 2012,

<http://www.stanford.edu/group/sjeaa/journal3/geasia1.pdf>

  • Faber, A. 2006, Theories and Strategies of European Integration: Neo-Functionalism (January, 2006),

Retrieved March 21, 2012 from

<http://www.uni-koeln.de/wiso-fak/powi/wessels/DE/LEHRE/VERANSTALT/WS0506/Vorlesung/VL%20Neo-Functionalism.pdf>

  • Schmitter, Phillipe C. 2002, Neo-Neo-Functionalism (July, 2002),

Retrieved March 21, 2012 from

<http://www.eui.eu/Documents/DepartmentsCentres/SPS/Profiles/Schmitter/NeoNeoFunctionalismRev.pdf>

  • DSY 2012, ‘Sekjen PBB akui konsistensi Indonesia menjaga perdamaian’, MetroTV News, 20 Maret, diakses pada 21 April 2012,

<http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/03/20/147543/Sekjen-PBB-Akui-Konsistensi-Indonesia-Menjaga-Perdamaian>

 

Artikel ini disumbangkan oleh Jelang Ramadhan sebagai Penulis Tamu

Walter Pinem
Walter Pinemhttps://walterpinem.me/
Traveler, Teknisi SEO, dan Programmer WordPress. Aktif di Seni Berpikir, A Rookie Traveler, GEN20, Payung Merah, dan De Quixote.

Bacaan SelanjutnyaPENTING
Topik Menarik Lain

1 KOMENTAR

  1. admin tolong disertakan tanggal upload artikelnya sebagai validasi informasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ikuti Kami!

1,390FansSuka
697PengikutMengikuti
210PelangganBerlangganan

Terpopuler