Diplomasi: Penjelasan Menurut Arthasastra – Diplomasi dalam hubungan antarbangsa atau pun hubungan luar negeri merupakan kata yang paling umum dipakai untuk merujuk pada bagaimana bernegosiasi agar kepentingan nasional dapat dicapai. Diplomasi juga dapat merujuk pada sebuah proses komunikasi dalam hubungan antarnegara dimana masing-masing negara mempresentasikan kepentingan nasionalnya yang hendak dipenuhi.
Diplomasi sedikit banyak dianggap sebagai cara halus dan licik untuk memaksa pihak lain agar mau memenuhi kepentingan nasional kita. Atau menurut tradisi diplomasi Timur, terutama dari India kuno yang dijelaskan oleh Kautilya dengan bukunya yang berjudul “Arthasastra”, bahwa bagaimana tindakan yang harus dilakukan di dalam kehidupan agar dapat meraih naya (keuntungan).
Pada dasarnya diplomasi dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional (The protection of state’s interests).
Kautilya, sang pemikir dari kerajaan Maurya di India Kuno, menjelaskan tetang konsep treatise on polity/practical life untuk mencapai naya (keuntungan) di dalam bukunya yang berjudul Arthasastra. Diplomasi menurut Kautilya di dalam buku tersebut dikategorikan sebagai era diplomasi kuno.
Ada 4 tujuan diplomasi yang dikemukakan Kautilya di dalam buku tersebut. Adapun 4 tujuan diplomasi yaitu:
1. Acquisition (Perolehan)
Dalam hal ini Kautilya menjelaskan tentang bagaimana memperoleh hubungan yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Pada dasarnya kerajaan belum memiliki hubungan dengan kerajaan lain. Dalam konsep kenegaraan, tentunya setiap negara punya national interest masing-masing dan tentunya ingin dipenuhi. Untuk itu, suatu negara harus terlebih dahulu memperoleh hubungan dengan negara lain demi mewujudkan national interest-nya.
2. Preservation (Pemeliharaan)
Di bagian ini, hubungan yang sebelumnya telah diperoleh harus dipelihara. Upaya pemeliharaan hubungan tersebut tentunya memiliki tujuan agar hubungan yang ada tetap baik-baik saja dan juga damai. Dengan hubungan yang seperti itu tentunya national interest akan memiliki peluang besar untuk terpenuhi.
3. Augmentation (Penambahan)
Semakin banyak ‘teman’ maka tentu semakin baik. Inilah yang dijelaskan oleh Kautilya tentang tujuan augmentation. Perlu melakukan penambahan teman dalam berhubungan dengan pihak lain agar posisi suatu negara menjadi kuat dan peluang untuk terpenuhinya kepentingan nasional akan semakin besar.
4. Proper Distribution (Pembagian Adil)
Dalam hal ini saya ibaratkan dengan praktek poligami. Bagaimana caranya kita melakukan pembagian yang adil bagi para istri yang kita punya. Begitu juga yang dapat kita pahami dalam bagian ini. Setelah berhubungan dengan negara-negara lain dan telah kita pelihara menjadi semakin baik, tentu harus adil dalam berinteraksi atau pun dalam proses komunikasi demi pemenuhan kepentingan nasional masing-masing pihak.
Dapat kita pahami bahwa diplomasi disini bersifat egois.
Di dalam buku itu juga disebutkan bahwa perlu strategi dalam berdiplomasi. Terdapat 4 bagian penting strategi yang bisa dilakukan agar tujuan tersebut terpenuhi.
Adapun strategi diplomasi yang dimaksud adalah:
1. Sama (Negosiasi)
Disini Kautilya menjelaskan bahwa Sama merupakan tahapan terpenting sekaligus yang paling awal yang harus dilakukan demi pemenuhan tujuan diplomasi, yaitu pemenuhan kepentingan nasional. Sama harus dilakukan terlebih dahulu sebagai tahapan awal untuk pemenuhan kepentingan nasional tersebut.
2. Dana (Pemberian Hadiah/Menyogok)
Bila Sama belum berhasil maka strategi berikutnya yang dapat dilakukan menurut Kautilya adalah Dana. Pemberian hadiah kepada pihak lain dapat memperbesar peluang agar negosiasi dapat berhasil sehingga kepentingan kita bisa tercapai.
3. Bheda (Pemecahan/Ancaman)
Bila Sama dan Dana belum juga berhasil, Bheda dapat menjadi strategi selanjutnya yang bisa dilakukan. Bheda disini digunakan untuk memecahkan aliansi pihak tersebut agar posisinya semakin melemah, sehingga mau tunduk dengan kemauan atau pun negosiasi kita. Pemecahan aliansi yang dimaksud bisa dengan mengadu domba pihak tersebut dengan aliansinya sehingga kedua pihak tersebut terpecah dan tidak lagi berada pada satu payung aliansi. Dengan begitu, posisi kita menjadi lebih kuat untuk dapat memaksakan kepentingan nasional kita agar segera dipenuhi.
Bheda juga dapat berupa ancaman. Jika Sama dan Dana belum memberikan efek signifikan terhadap tujuan diplomasi kita, maka ancaman dapat menjadi strategi untuk menakuti atau menggentarkan pihak lain untuk tunduk dan mau memenuhi kepentingan yang ingin kita capai.
4. Danda (Intervensi Militer/Kekerasan)
Jika ketiga strategi tersebut belum juga mampu membantu mewujudkan kepentingan nasional kita, maka Danda menjadi jalan terakhir. Danda biasanya berupa peperangan atau pun hanya sebatas invasi sebagai paksaan agar pihak tersebut mau memenuhi kepentingan kita.
Dalam semua hal yang tertulis di atas dapat disimpulkan bahwa diplomasi sangat bersifat egois dan bersifat pragmatis dalam setiap hubungan yang dibentuk.
Selain itu ada juga 4 konsep/penamaan yang dijelaskan Kautilya mengenai individu yang terlibat dalam diplomasi:
1. Duta disini merupakan pihak yang menjadi mata-mata yang tentunya memata-matai apa yang dimiliki negara lain sedangkan negaranya tidak, serta hal lain yang mencakup kepentingan. Hal tersebut dapat menjadi landasan kepentingan nasional.
2. Prahita merupakan duta besar residen.
3. Palgala merupakan pihak yang dikirim sebagai negosiator yang membawa misi diplomatik dari negara asalnya ke negara lain untuk bernegosiasi demi terpenuhinya kepentingan nasionalnya.
4. Suta merupakan pihak yang menyebarkan pesan yang telah tersedia kepada masyarakat umum.
Dalam semua hal yang tertulis dapat kita simpulkan bahwa diplomasi tujuannya sangat pragmatis dan cenderung egois. Kautilya lebih mengutamakan proses negosiasi sebagai tahapan paling mendasar dalam proses diplomasi. Disini juga dapat kita tangkap bahwa Kautilya dalam tujuan dan strategi yang dijelaskannya mampu menggabungkan konsep Hard Power maupun Soft Power, yang menurut Hillary Clinton (Menlu AS) disebut sebagai Smart Power, dalam pencapaian kepentingan. Kautilya mengutamakan Soft Power sebagai dasar paling dasar dalam strategi diplomasinya, namun jika belum juga berhasil maka Hard Power dipakai sebagai jalan akhir.
Referensi:
-David Scott (2011), Handbook of India’s International Relations, New York: Routledge
-Penjelasan oleh Mas Sammy Kannady